Pada Senin sore yang bersalut cahaya lembut di bulan Juni dua ribu dua puluh lima, angin sejarah seolah berembus perlahan ke pelataran Istana Maimun. Megahnya peninggalan Kesultanan Deli itu tidak semata berdiri sebagai lambang, melainkan hidup dalam denyut silaturahmi yang terajut indah antara Pengurus JPKP Sumatera Utara serta Perguruan Monsak Simataraja Hatorusan (PMSH) dan Yang Mulia Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alamsyah, Sultan Deli XIV.
Dalam suasana yang khidmat namun penuh kehangatan, pertemuan ini membentangkan jalinan tak hanya sekadar temu, melainkan pertemuan tiga simpul warisan: gerakan rakyat, kebangsawanan, dan budaya luhur yang menjalin rantai darah leluhur.
Gayung bersambut antara Ketua JPKP Sumatera Utara, Rudy Chairuriza Tanjung, SH, Ketua Umum Perguruan Monsak Simataraja Hatorusan (PMSH), Hardi Florianus Simarmata, S.S., serta seluruh pengurus dan rombongan yang turut hadir. Pertemuan ini menggema dalam irama tutur Melayu yang berpantun akal dan bersyair nurani. Di bawah gemerlap lampu kristal dan keharuman kayu tua istana, cerita-cerita tentang kejayaan Kesultanan Deli tidak sekadar dikenang sebagai masa silam, tetapi dihidupkan kembali sebagai sumber ilham masa depan.
Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alamsyah, dalam kehangatan budi dan keramahan teduhnya, menuturkan kisah leluhur dengan nada yang bukan hanya didengar, namun seakan dirasa—mengalir di darah, bergema di hati. Bincang pun meluas, dari seni hingga budaya, dari adat istiadat hingga benteng nilai yang terpatri dalam cagar budaya dan cagar alam. Semua itu bukan sekadar warisan mati, melainkan pusaka hidup yang memeluk masa depan. Dalam ranah itu, silaturahmi menjadi lebih dari sekadar kunjungan; ia menjadi madah perjuangan, menjadi suluh yang mengaitkan marwah dengan gerakan rakyat hari ini.
Suasana kian hidup kala Sultan Deli XIV, titisan silsilah agung kerajaan, menyampaikan salam takzim penuh makna kepada Ketua Umum JPKP Pusat, Maret Samuel Sueken — yang juga membawa darah kebesaran Kerajaan Gowa-Makassar. Dua jalur silsilah luhur bersua dengan semangat rakyat yang tumbuh dalam perguruan sosial-budaya PMSH, membentuk simpul baru yang mempertemukan darah bangsawan, darah budaya, dan darah juang rakyat.
Dengan ungkapan petuah lembut, Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alamsyah menuturkan doa yang mengandung seruan marwah: agar nilai-nilai leluhur tak sekadar disimpan dalam museum jiwa, tetapi dijadikan pegangan dalam langkah, pegangan dalam ikhtiar. Dalam naungan petang, dalam hormat yang mengendap di relung batin, silaturahmi itu ditutup bukan dengan akhir, tetapi dengan awal—awal dari ikatan yang lebih dalam antara tradisi, gerakan sosial, dan keluhuran cita bangsa. Inilah simpul rantai darah leluhur yang disulam dengan benang marwah, menyala abadi di antara rakyat, raja, dan ruh kebudayaan.