China Tegaskan BRICS Tak Cari Ribut dengan AS Meski Trump Ngamuk soal Tarif

China Tegaskan BRICS Tak Cari Ribut dengan AS Meski Trump Ngamuk soal Tarif

1dtk.com - China akhirnya angkat bicara soal panasnya hubungan BRICS dengan Amerika Serikat gara-gara pernyataan bersama yang bikin Presiden Donald Trump naik pitam. Pada Senin (7/7), juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyampaikan dengan tegas kalau BRICS tidak pernah punya niat buat memicu perang dagang. Bahkan, mereka juga nggak ingin konfrontasi sama AS.

“Mengenai pengenaan tarif, China telah berulang kali menyatakan bahwa perang dagang dan tarif tak akan melahirkan pemenang dan proteksionisme tidak menawarkan jalan keluar,” kata Mao, seperti dikutip AFP. Ucapannya ini terasa dingin tapi cukup bikin banyak pihak mikir dua kali tentang siapa sebenarnya yang lagi bikin masalah.

Buat yang belum ngeh, BRICS baru-baru ini mengeluarkan pernyataan bersama yang mengkritik kenaikan tarif perdagangan internasional. Walau nggak menyebut siapa yang dimaksud, jelas banget arah anginnya ke Amerika Serikat. Soalnya, belakangan ini Washington rajin banget ngancem negara-negara dengan tarif tinggi. BRICS sendiri dalam pernyataan resminya bilang, “Kami menyuarakan kekhawatiran serius terhadap meningkatnya langkah-langkah tarif dan non-tarif sepihak yang menyimpang dari perdagangan dan tidak sesuai dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).”

Kritik itu langsung bikin Trump panas. Lewat akun Truth Social, ia nulis dengan gaya khasnya yang meledak-ledak. “Negara mana pun yang berpihak pada kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan TARIF TAMBAHAN sebesar 10%. Tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan ini,” tulis Trump, Minggu (6/7). Waduh, keras banget ya.

Tapi, China tetap tenang. Mao kembali menegaskan bahwa BRICS adalah platform kerja sama yang inklusif dan nggak niat cari musuh. “BRICS menganjurkan keterbukaan, inklusivitas, dan kerja sama yang saling menguntungkan,” ujar Mao. Bahkan ia bilang, keberadaan BRICS ini penting banget buat memperkuat kerja sama antar pasar negara berkembang. Dan yang paling penting, katanya lagi, BRICS “tidak terlibat dalam konfrontasi kubu” dan sikapnya “tidak ditujukan pada negara mana pun.”

Kalau dilihat dari sejarahnya, BRICS memang didirikan buat jadi penyeimbang dominasi negara Barat. Awalnya cuma beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Tapi sekarang sudah berkembang jadi 11 negara setelah Mesir, Ethiopia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, dan bahkan Indonesia gabung. Yup, Indonesia baru resmi masuk awal tahun 2025, menjadikannya negara Asia Tenggara pertama yang bergabung.

Nah, ini yang bikin orang Indonesia mulai was-was. Soalnya kalau Trump serius sama ancamannya, Indonesia juga kena getahnya berupa tarif tambahan 10 persen. Apalagi buat pengusaha yang dagangin komoditas ke pasar Amerika, ini bisa bikin harga makin nggak kompetitif. Padahal, banyak pelaku usaha kecil yang baru belajar ekspor juga belakangan makin aktif ke sana.

Oh iya, BRICS juga sempat menyinggung isu lain yang bikin suasana makin panas. Dalam pernyataan bersama yang sama, mereka mengutuk serangan Amerika terhadap fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni lalu. Katanya, serangan itu nggak cuma menghancurkan tiga situs penting, tapi juga melanggar hukum internasional. “[Kami] menyampaikan kekhawatiran serius terhadap serangan yang disengaja terhadap infrastruktur sipil dan fasilitas nuklir damai yang berada di bawah pengawasan penuh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang melanggar hukum internasional dan resolusi terkait IAEA,” tulis pernyataan BRICS.

Jadi, sebenarnya siapa yang lagi bikin situasi jadi panas? Kalau lihat dari semua pernyataan, BRICS lebih banyak pakai nada hati-hati dan ngajak dialog. Sementara Trump justru kelihatan meledak-ledak dan main ancam. Dari perspektif wartawan senior, ini sebenarnya bukan cuma soal tarif. Ini juga soal citra dan positioning masing-masing pihak di mata dunia. BRICS jelas pengen dilihat sebagai kubu yang tenang, inklusif, dan memperjuangkan multilateralisme. Sementara Trump tetap dengan gaya “America First”-nya yang sering bikin sekutu jadi keki.

Buat Indonesia sendiri, ini jadi momen buat introspeksi juga. Jadi anggota BRICS memang bikin gengsi naik, tapi konsekuensinya ya harus siap kalau ada negara besar yang nggak seneng. Para pengusaha lokal perlu mulai siapin strategi, misalnya dengan diversifikasi pasar supaya nggak cuma bergantung sama AS. Pemerintah juga harus rajin lobi biar produk Indonesia nggak makin ditekan tarifnya. Di balik konflik ini, ada peluang juga buat Indonesia buat ngejar pasar baru lewat kerja sama intra-BRICS. Negara-negara seperti China, Rusia, dan bahkan Timur Tengah bisa jadi alternatif.

Nah, buat pembaca sipil, aparatur negara, atau pengusaha yang mungkin mikir ini cuma urusan negara besar, coba deh liat lebih jeli. Perang dagang itu ujung-ujungnya tetap nyentuh dompet kita juga. Harga barang impor bisa naik, daya beli turun, bahkan ekspor kita bisa anjlok. Jadi, wajar aja kalau banyak pihak di Indonesia mulai deg-degan nunggu langkah selanjutnya.

Terlepas dari semua itu, satu hal yang jelas: dunia lagi berubah cepat banget. Perang dagang, serangan militer, bahkan aliansi baru kayak BRICS yang makin kuat bikin peta ekonomi-politik jadi lebih rumit. Yang penting, kita sebagai publik juga harus melek. Jangan sampai kebijakan luar negeri malah bikin kita nggak siap menghadapi dampaknya.

So, kalau boleh pakai bahasa agak gaul sedikit, jangan baper sama headline besar doang. Ngerti konteksnya, siapin diri, dan kalau bisa ikut dorong pemerintah buat ambil langkah yang bener. Toh, kayak kata Mao tadi, “perang dagang dan tarif tak akan melahirkan pemenang.” Nah, mending fokus cari cara menang yang beneran, bukan cuma adu ego, kan?

Dengan semua dinamika ini, BRICS jelas nggak cuma sekadar forum ekonomi. Dia sudah jadi simbol perlawanan halus terhadap dominasi lama, sambil ngajak dunia buat main lebih fair. Dan itu, jujur aja, menarik buat kita ikuti.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال