1dtk.com - Jujur aja, setiap kali ada teman nanya gimana caranya gue bisa jalan enam hari lima malam ke tiga kota luar negeri tanpa bikin dompet megap megap, gue selalu nyengir dulu. Soalnya, kalau mereka tahu betapa sering gue tidur di bandara atau duduk bengong di kursi keras terminal bus, mungkin mereka bakal geleng kepala. Tapi ya begitulah seni backpacking. Kadang kita memang harus mengorbankan kenyamanan demi pengalaman yang rasanya lebih mahal daripada uang itu sendiri.
Gue mau cerita perjalanan kemarin yang dimulai pada 1 November dan selesai pada 6 November. Total semua pengeluaran wajib cuma sekitar lima juta. Itu udah termasuk tiket pesawat, makan, transportasi publik, sewa motor, hotel murah, bahkan sampai trip seharian ke PhiPhi. Kalau dibilang nekat, ya mungkin benar juga. Tapi semua keputusan ini memang diambil biar gue bisa tetap jalan sambil nabung pelajaran baru buat diri sendiri.
Dari Jakarta gue berangkat dengan Scoot menuju Penang lewat Singapura. Saking penginnya hemat, gue naik bus kota dulu dari pusat kota menuju bandara. Gue udah males kalau harus bayar transportasi bandara yang mahal. Trip gue sengaja dibuat serba backpack biar gerak bisa cepat, jadi gak ada koper sama sekali. Koper itu bikin ribet, bikin lambat, dan sering membuat orang akhirnya butuh transportasi yang mahal. Dengan ransel, gue bisa jalan cepat dan pindah moda transport tanpa harus ngeluh.
Landing di Singapura, gue punya waktu tujuh jam sebelum penerbangan berikutnya. Ada momen gue duduk bengong sambil mikir mau ngapain. Tapi akhirnya gue jalan aja keliling. Gak ada target khusus, cuma sekadar ngeliat suasana. Dan seperti biasa, Singapura bikin gue merasa seperti orang paling santai di dunia karena semua serba rapi.
Begitu sampai di Penang, gue nginep semalam di hotel yang harganya gak sampai dua ratus ribu. Ruangannya kecil, tapi cukup buat istirahat sebentar. Kalau ada yang berharap dapet hotel mewah dengan harga begini, yah mungkin harus diturunkan dulu ekspektasinya.
Hari kedua, gue sempat keliling Penang pagi pagi. Gue suka suasana kotanya yang santai tapi tetap hidup. Setelah itu gue berangkat menuju Butterworth buat lanjut ke Padang Besar naik kereta. Harga tiketnya murah banget. Rasanya kayak throwback masa sekolah karena gue duduk sambil ngeliatin jendela dengan hati tenang.
Di perbatasan, gue lanjut naik kereta lagi menuju Hat Yai. Kota ini cuma jadi titik singgah sebelum gue melanjutkan perjalanan panjang ke Phuket naik bus malam. Bus malam itu penyelamat banget. Gue tidur seadanya, kadang miring sedikit, kadang terlalu tegak, tapi lumayan lah daripada harus bayar hotel tambahan. Dalam kondisi seperti ini, gue belajar arti kesabaran. Kursinya memang keras, tapi ada bagian lucu juga ketika salah satu penumpang teriak kecil karena mimpi. Gue hampir ketawa tapi tahan karena takut dibilang aneh.
Hari ketiga adalah hari paling capek sekaligus paling puas karena gue ikut trip sehari penuh ke PhiPhi Island. Harganya sekitar satu koma satu juta. Lumayan sih, tapi sepadan. Lautnya biru banget, pasirnya halus, dan anginnya bikin kepala langsung adem. Yang lucunya, sarapan dan makan siang udah disiapin sama penyelenggara, jadi sebenarnya gue bisa ngirit makan hari itu. Tapi dasar gue lapar mata, gue tetap jajan dikit di sekitar pelabuhan sepulang dari trip.
Dua malam di Phuket gue nginep di hotel yang harganya sekitar seratus tujuh puluh lima ribu per malam. Gue suka lokasi hotelnya karena gampang dicari dan deket jalan besar. Hari keempat dan kelima gue sewa motor bareng teman. Totalnya seratus lima puluh ribu per hari tapi dibagi dua jadi murah. Motor itu memberi kebebasan yang gak bisa dikasih oleh transportasi umum. Gue bisa berhenti kapan pun buat foto, jajan, atau sekadar ngelurusin kaki. Rasanya kayak jadi anak muda lagi walaupun umur kepala lima itu pelan pelan mengejar.
Satu hal yang paling gue syukuri dari perjalanan ini adalah gue jadi makin sadar bahwa jalan hemat bukan berarti harus menderita. Kadang kita cuma perlu sedikit sabar dan mau ribet dikit. Misalnya memilih naik bus dibanding kendaraan online, atau makan street food yang sederhana tapi enak banget. Dari enam hari perjalanan ini, gue butuh sekitar empat belas kali makan. Dengan rata rata lima puluh ribu per porsi, totalnya tujuh ratus ribu. Murah? Ya relatif. Tapi buat gue yang selalu nyari cara buat hemat, angka ini masuk akal.
Baca juga: Menyusuri Jejak Kosmonot di Museum Luar Angkasa Moskow
Hari kelima sore, gue berangkat dari Phuket menuju bandara untuk mengejar penerbangan transit di Singapura. Gue memutuskan tidur di Changi karena memang gak mau keluar biaya lagi. Tidur di bandara punya sensasi unik yang entah kenapa justru menenangkan gue. Ada suara AC, pengumuman pesawat, dan orang berlalu lalang. Rasanya kayak berada di dunia kecil yang gak pernah tidur.
Hari keenam, gue pulang naik pesawat pagi menuju Jakarta. Begitu mendarat, gue merasa campur aduk. Capek iya, tapi senang juga karena akhirnya bisa pulang dengan segudang cerita dan pelajaran. Pengalaman tidur di bandara, naik bus malam, hingga mengatur uang makan membuat gue makin sadar bahwa perjalanan itu bukan tentang seberapa mewah, tapi seberapa banyak hal yang bisa lo alami.
Kalau ada yang nanya apakah gue akan ulangi pola perjalanan hemat seperti ini, mungkin jawabannya iya. Ada rasa puas ketika berhasil menyusun perjalanan dari berbagai moda transport murah. Ada kebahagiaan kecil yang muncul ketika tahu semua bisa dijalankan sesuai rencana.
Jadi, buat sobat dua puluhan yang mungkin mau nyoba backpacking pertama kali, jangan takut buat eksplor cara paling hemat. Cari transport publik, makan di pinggir jalan, bawa ransel yang ringan, dan siap buat tidur seadanya. Kadang pengalaman paling berharga justru datang dari hal yang kita pikir tidak nyaman. Dan percaya deh, ketika lo lihat total biaya perjalanan cuma sekitar lima juta untuk enam hari keliling tiga kota, rasanya semua perjuangan itu terbayar lunas.
