1dtk.com - Kalau ada yang bilang perjalanan panjang itu cuma soal duduk manis di pesawat sambil nonton film, itu bohong banget. Setidaknya, buat saya. Perjalanan kali ini dari Shanghai menuju Paris dengan China Eastern Airlines sudah penuh cerita sejak saya duduk di kursi.
Di sebelah saya ada sepasang kekasih dari Thailand. Sepuluh jam pertama kami sama sekali nggak ngobrol. Saya pikir, ya udah lah, masing-masing punya zona nyaman. Sampai tiba-tiba, satu jam sebelum landing, si cowok yang duduk di tengah mulai ngerogoh-rogoh tas dan membuka-buka kantong seperti sedang mencari sesuatu. Nah, di sini lah otak saya mulai overthinking apalagi pas menjelang haid, bawaannya makin sensitif. Dalam hitungan detik, saya udah bikin skenario ala sinetron di kepala: "Aduh, jangan-jangan dia kehilangan barang terus nuduh saya, nanti diperiksa di bandara, terus ribet segala macem."
Tapi ternyata, semua dramanya cuma di kepala. Si cewek tiba-tiba nengok ke arah saya, “Excuse me, lo pake wifi?” Saya jawab, “Iya, cuma nggak bisa buka apa-apa, WA juga lemot.” Dia lalu minta diajarin cara aksesnya. Sementara si cowok masih dengan muka penuh tanda tanya, entah apa yang hilang. Sampai mendarat, misterinya nggak terpecahkan.
Begitu landing di CDG Airport, saya pikir drama sudah selesai. Eh ternyata malah lanjut. Saya dapat jalur priority, tapi entah kenapa di tengah jalan dibelokin ke jalur keluarga. Di imigrasi, petugasnya seperti lagi pengen ngobrol panjang. Dia tanya berapa lama saya di Paris, minta lihat kartu kredit, bahkan nanya ada berapa duit di situ. Padahal paspor saya sudah penuh visa Schengen dan cap negara lain. Seolah dia nggak percaya saya beneran mau ngebolang di Eropa.
Selesai di imigrasi, saya langsung ke conveyor belt buat ambil koper. Lihat koper yang mirip punya saya muter sampai tiga kali di depan mata. Tapi koper saya nggak nongol. Ternyata, di ujung, ada petugas yang nurunin koper dan numpukin di pojok. Lah, kalau gitu kan enak kalau dikasih tahu.
Dan… koper murah yang saya beli di Myeongdong tiba-tiba ngadat. Roda ngerem mendadak berkali-kali sampai saya hampir jatuh. Dalam hati, udah fix, begitu pulang ini koper langsung pensiun dan saya ganti Samsonite mungkin beli di outlet biar hemat.
Drama belum kelar. Keluar dari Gare du Nord, saya pesan Uber. Biayanya 10,8 euro. Saya nggak sadar kalau default pembayaran saya adalah cash. Masalahnya, saya cuma bawa recehan 8 euro lebih sedikit. Di tengah jalan, saya ubah pembayaran jadi kartu kredit. Pas sampai, saya bilang ke driver kalau saya sudah bayar pakai kartu. Tapi dia ngotot minta cash. Saya jelasin, cash saya cuma 8 euro. Dia bilang nggak apa-apa, mungkin ini unlucky day buat dia. Saya jadi ikut merasa nggak enak. Akhirnya saya bilang, “Sisanya nanti saya masukin di tips aja ya.”
Begitu Uber pergi, saya masuk untuk check-in. Nggak lama, masuk email notifikasi dari kartu kredit. Ternyata sudah terdebet 10,8 euro plus tips. Lah, artinya saya bayar triple!
Rasanya mau lapor, tapi tenaga udah habis. Akhirnya saya cuma rebahan dan tidur.
Moral cerita dari semua drama ini simpel: selalu siapin cash yang cukup, setidaknya buat transportasi dari bandara ke hotel, apalagi kalau lagi di negara yang mata uangnya beda. Nggak semua hal bisa diselesaikan dengan kartu, dan nggak semua orang mau ribet ngecek transaksi di sistem. Kadang, uang tunai bisa nyelametin dari ribetnya drama di perjalanan.