1dtk.com - Jujur, waktu pertama kali nemu promo tiket Jakarta–Guangzhou pulang pergi cuma Rp1,8 juta, saya nggak langsung mikir jauh. Bukan karena saya udah lama mimpiin pergi ke China, tapi justru sebaliknya negara ini nggak masuk daftar prioritas liburan saya. Bayangan awalnya ya gitu-gitu aja: gedung pencakar langit, jalanan sibuk, dan kota besar yang penuh orang terburu-buru. Dan itu bukan tipe traveling yang biasanya bikin hati saya berbunga-bunga.
Tapi namanya juga traveler oportunis, kalau tiket murah lewat di depan mata, ya gas. Visa? Ternyata prosesnya nggak ribet. Jadi saya ambil aja kesempatan itu tanpa ekspektasi. Dan justru dari situ perjalanan ini berubah jadi salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidup.
Sebelum berangkat, saya mulai riset tempat-tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Saya pengen suasana yang lebih tenang, banyak budaya, dan tentu saja pemandangan alam. Di situlah saya nemu Yangshuo, sebuah kota kecil di wilayah selatan China, cuma dua jam naik kereta cepat dari Guangzhou. Katanya, kota ini terkenal dengan lanskap bebatuan karst yang bikin semua fotografer gagal move on.
Begitu turun dari kereta, saya langsung disambut pemandangan yang bikin mata nggak kedip tebing-tebing raksasa menjulang, kayak penjaga alam yang diam tapi gagah. Aneh rasanya, karena biasanya stasiun kereta itu ada di tengah kota, tapi Yangshuo punya stasiun yang jauh banget dari pusatnya. Saya masih harus naik taksi sejam lebih untuk sampai ke area wisata utama, West Street. Dan di sepanjang perjalanan itu, saya mulai sadar… “Oke, ini bakal jadi trip yang beda.”
West Street sendiri lumayan unik. Meskipun Yangshuo dibilang pedesaan, suasananya tetap hidup. Ada night market yang penuh aroma makanan jalanan, kafe-kafe kecil yang hangat, dan wisata sungai yang bikin adem. Tapi highlight utama, tanpa ragu, adalah Li River.
Baca Juga: Petualangan Dua Hari di Porto yang Penuh Kejutan dan Pelajaran Berharga
Bayangin ini: kamu naik motor di jalanan yang membentang di sisi sungai, udara segar masuk lewat helm terbuka, dan di air, perahu bambu bergerak pelan seolah waktu berjalan lebih lambat di sini. Di kiri-kanan, bebatuan karst berdiri sombong, memamerkan bentuknya yang unik. Saya sempat mikir, “Ini kayak lukisan tradisional China yang sering saya lihat di kalender atau dinding rumah makan.” Bedanya, ini real di depan mata.
Li River ini bukan cuma cantik untuk dilihat, tapi juga punya energi yang menenangkan. Bahkan waktu saya berhenti sebentar di pinggir jalan, cuma duduk sambil minum teh hangat dari termos, rasanya kayak dunia luar nggak ada.
Kalau ngomong soal bebatuan karst di Yangshuo, rasanya nggak akan habis. Dari tengah kota sampai ke ujung desa, pemandangan bukit ini jadi latar permanen. Pantas aja kota ini jadi surganya para rock climber dari seluruh dunia. Dan kalau ada satu spot yang nggak boleh dilewatkan, itu adalah Moon Hill. Bukit ini punya lubang besar di tengahnya, bentuknya unik banget, kayak gerbang alami ke langit.
Saya datang ke Moon Hill pas sore hari. Saat matahari mulai turun, cahaya oranye-emas memantul di dinding batu, dan lubang besar itu jadi siluet sempurna di langit. Ada rasa kagum yang nggak bisa dijelasin cuma pakai kata “indah”. Ini kayak kombinasi rasa syukur, takjub, dan sedikit nyesel kenapa nggak ke sini dari dulu.
Yangshuo ngajarin saya bahwa China itu jauh lebih berwarna dari yang saya kira. Bukan cuma kota besar atau tembok raksasa, tapi juga punya sisi pedesaan yang menenangkan, ramah, dan sarat budaya. Bahkan tanpa itinerary yang ribet, cuma jalan-jalan santai di sini udah cukup untuk bikin hati penuh.
Kalau kamu mau lihat sisi China yang beda, jauh dari hiruk pikuk metropolis, saya benar-benar nyaranin untuk masukin Yangshuo ke bucket list. Dan kalau bisa, datanglah tanpa ekspektasi berlebihan biar alamnya yang kasih kamu kejutan.