1dtk.com - Kalau ada satu kota di Portugal yang dari dulu bikin saya penasaran, jawabannya pasti Porto. Bukan cuma karena arsitekturnya yang cantik atau vibe kotanya yang katanya bikin jatuh cinta, tapi juga karena saya sudah janji ke diri sendiri sejak kunjungan pertama ke Lisbon next time ke Portugal, Porto wajib masuk list. Dan janji itu akhirnya terpenuhi di awal Mei 2025 ini. Tapi seperti biasa, perjalanan saya nggak pernah mulus-mulus amat. Ada aja drama dan momen kocak yang bikin ketawa sendiri kalau diingat.
Hari pertama dimulai dari perjalanan bus malam dari Madrid ke Terminal Intermoda Campanha di Porto. Sampai jam setengah tujuh pagi, udara dingin, dan ternyata gerimis. Bukan sambutan yang saya harapkan sih, apalagi setelah di Paris dan Madrid cuacanya cerah-cerah aja. Udah niat mau langsung eksplor, eh malah hujan deras. Mood langsung agak keki. Tapi ya namanya traveling, kadang harus pasrah sama cuaca. Solusinya? Cari tempat neduh yang nyaman. McD Imperial jadi pilihan pertama karena buka pagi-pagi dan... ya, laper juga. Resto ini unik banget, karena bangunannya bekas gedung lama yang di dalamnya ada chandelier. Rasanya makan toast dan minum juice di situ tuh kayak campuran antara budget traveler dan bangsawan yang nyasar.
Begitu hujan mulai reda, saya jalan kaki dari Avenida Aliados. Ternyata ada acara besar di situ, panggung terpasang dan ada choir yang tampil. Banyak anak muda pakai toga kelulusan, tapi dengan pin-pin unik di jubahnya. Saya suka momen kayak gini, di mana kita bisa lihat tradisi lokal yang nggak selalu tertulis di buku panduan. Dari situ lanjut ke Igreja de Los Clerigos gereja bergaya Baroque yang jadi ikon Porto. Ada menaranya yang bisa dinaiki, tapi kali ini saya cuma puas foto dari luar.
Perjalanan lanjut lewat Jardim da Cordoaria menuju Igreja do Carmo. Lagi-lagi nemu suasana unik, ada bapak-bapak perform dansa tradisional tapi pas diperhatikan... ternyata pasangannya boneka ukuran manusia. Saya bengong campur ngakak, ini entertainer level dewa. Dari sana, jalan terus melewati gang sempit dengan bangunan tinggi berlapis keramik khas Portugal. Ini salah satu bagian yang bikin saya jatuh cinta sama Porto kontras antara sempitnya jalan dan megahnya detail arsitektur.
Baca juga: Liburan Seminggu di Jepang dengan Budget 12 Juta Saja dan Tetap Tidur Nyaman
Salah satu bucket list saya adalah melihat Porto dari atas. Jadi saya mampir ke Miradouro da Vitoria. Dari sini, pemandangan Sungai Douro, jembatan Ponte Luis I, dan kawasan Vila Nova de Gaia terbentang jelas. Udara agak dingin, tapi view-nya bikin lupa segalanya. Jalan menurun membawa saya ke Mercado Ferreira Borges, pasar tua dari tahun 1880-an, dan Praca Infante Dom Henrique. Akhirnya sampai di tepi sungai Douro. Waktu itu hujan gerimis lagi, jadi saya memutuskan masuk ke McD lagi untuk makan siang. Nggak nyangka jadi pelanggan setia McD di Porto.
Begitu matahari keluar, suasana langsung berubah. Jalan di pinggir Douro penuh turis dan warga lokal. Ada boat tour, cafe, dan toko suvenir. Saya menyeberang Ponte Luis I lewat jalur bawah, lalu naik Gaia Cable Car. Dari atas, pemandangan Porto dan Rio Douro terlihat spektakuler. Rasanya kayak main drone tapi versi manusia.
Sore harinya, saya iseng ke stadion Boavista. Lokasinya agak di pinggiran, stadionnya punya sejarah keren tapi sekarang sayangnya klubnya terpuruk. Nunggu bus pulang ke city center lumayan lama, dan baru sampai hotel jam sembilan malam, capek tapi puas.
Hari kedua dimulai agak siang. Saya ingin ke Passeio Alegre karena sempat lihat tram unik yang jalurnya ke sana. Tapi akhirnya malah naik bus double-decker rute 500. Bus ini luar biasa strategis, melewati jalur tepi Sungai Douro sampai ke pantai di Matosinhos. Saya turun di Jardim Passeio Alegre, taman rindang yang cantik, lalu jalan ke pantai-pantai di sekitarnya. Angin dari Samudera Atlantik bikin suasana segar, tapi sayang tiket transport saya cuma cover dua zona, jadi nggak bisa sampai Matosinhos.
Balik lagi ke kota, saya memilih destinasi lain yang nggak kalah seru Estadio do Dragao, markas FC Porto. Stadion ini megah banget, jauh lebih besar dari Boavista. FC Porto punya sejarah besar di Liga Portugal, termasuk gelar Liga Champions. Bagi saya, mengunjungi stadion besar itu seperti masuk ke kuil sepak bola.
Selesai foto-foto, saya harus balik ke Terminal Campanha untuk perjalanan ke Lisbon. Di sinilah drama kecil dimulai. Saya nyasar gara-gara ikut Google Maps keluar stasiun, padahal harusnya tetap di dalam untuk akses ke terminal. Untung ada petugas yang mengarahkan. Bus muncul tepat waktu, dan tiga setengah jam kemudian saya tiba di Lisbon.
Di Lisbon, karena ada waktu transit empat jam, saya manfaatkan untuk eksplor. Pertama ke Stadion Jose Alvalade milik Sporting, lalu naik tram klasik rute 28 yang terkenal itu. Rasanya seperti melintasi mesin waktu, melewati Alfama dengan jalan sempitnya. Sore berubah malam, dan saya kembali ke bandara.
Sayangnya, di sinilah drama besar dimulai. Bus ke Sevilla yang dijadwalkan jam 23.10 diundur jadi 23.40, tapi malah nggak datang sampai lewat jam satu pagi. Saya panik, lelah, dan frustasi karena itinerary berikutnya terancam hancur. Akhirnya beli tiket last minute yang mahal untuk bus pagi. Malam itu saya ngemper di Terminal Oriente sambil menahan kantuk.
Kalau ada pelajaran dari perjalanan ini, saya akan bilang: traveling itu bukan cuma tentang destinasi, tapi juga kemampuan beradaptasi sama kejadian nggak terduga. Hujan, nyasar, transportasi molor, semua itu bagian dari cerita. Dan kalau mau tetap waras, harus siap improvisasi.
Tips dari saya untuk yang mau ke Porto dan Lisbon:
- Siapkan plan B untuk transportasi. Jangan cuma andalkan satu opsi, apalagi kalau lintas negara.
- Gunakan kartu transport harian seperti Andante Card di Porto atau Viva Viagem di Lisbon hemat dan praktis.
- Bawa jas hujan lipat. Porto terkenal dengan cuaca yang gampang berubah.
- Nikmati momen spontan. Kadang yang paling berkesan justru kejadian nggak terduga.
- Kalau nyasar, tenang dulu. Orang lokal biasanya ramah dan mau membantu.
Perjalanan ini mengajarkan bahwa dalam traveling, ekspektasi itu bagus, tapi fleksibilitas lebih penting. Porto memang indah, Lisbon tetap memikat, tapi yang paling saya bawa pulang adalah cerita dan itu harganya nggak bisa dibeli.
Kalau kamu tanya, apa saya mau balik lagi ke Porto? Jawabannya iya, tanpa ragu. Dan mungkin kali ini, saya bakal siapin jas hujan dari awal.