1dtk.com - Kasus dugaan suap proyek jalur kereta api kembali mencoreng wajah sektor transportasi Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis malam (28/11/2024) resmi menahan tiga tersangka dalam perkara ini. Ketiganya, yakni Hardho, Edi Purnomo, dan Budi Prasetyo, diduga kuat menerima suap terkait proyek di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.
Penahanan dilakukan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Jakarta Timur untuk periode awal 20 hari, hingga 17 Desember 2024. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur, menegaskan langkah ini sebagai bagian dari upaya memastikan proses hukum berjalan tanpa hambatan.
"Tersangka H, EP, dan BP akan ditahan selama 20 hari pertama," katanya.
Fee suap yang diterima para tersangka disebut mencapai Rp 800 juta, berasal dari paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di Balai Teknik Perkeretaapian Kelas 1 Jawa Bagian Tengah. Modusnya, proyek diberikan kepada pihak tertentu, dan Pokja pengadaan mendapatkan imbalan 0,5% dari nilai kontrak setelah pajak.
Angka ini, meskipun terlihat kecil secara persentase, sebenarnya sangat besar jika dilihat dari total proyek. Dari total fee, Budi Prasetyo selaku Ketua Pokja menerima Rp 100 juta. Hardho, yang bertindak sebagai Sekretaris Pokja, kebagian Rp 80 juta, dan Edi Purnomo menerima jumlah yang sama.
"Fee yang sudah diterima Pokja sebesar Rp 800 juta dari nilai kontrak yang disahkan," ungkap Asep Guntur, menunjukkan betapa rapinya pengaturan aliran dana ini.
Salah satu proyek utama yang diusut KPK adalah pembangunan jalur ganda kereta api elevated dari Solo Balapan hingga Kadipiro. Proyek ini bukan sekadar membangun infrastruktur, melainkan bagian penting dari upaya meningkatkan konektivitas di wilayah Jawa Tengah. Sayangnya, harapan untuk mendapatkan hasil yang maksimal malah tercemar oleh skandal korupsi ini.
Yang menarik, ini bukan kali pertama proyek kereta api tersandung masalah hukum. Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara sebelumnya yang melibatkan PT Istana Putra Agung (IPA) dan beberapa pejabat, seperti Bernard Hasibuan dan Putu Sumarjaya, yang terlibat dalam skema suap di Balai Teknik Perkeretaapian Semarang.
Dampak dari kasus seperti ini tidak bisa dianggap enteng. Jalur kereta api adalah infrastruktur penting yang mendukung perekonomian nasional. Ketika ada penyalahgunaan anggaran, masyarakatlah yang paling dirugikan. Pembangunan infrastruktur yang mestinya dilakukan dengan efisien dan transparan malah terhambat oleh kepentingan pribadi.
Kabar ini tentu menjadi peringatan keras bagi instansi pemerintah dan penyedia jasa yang terlibat dalam proyek strategis. Kalau tidak hati-hati, praktik seperti ini bisa memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebagai warga negara, kita perlu lebih sadar akan pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran publik. Salah satu langkah sederhana adalah dengan terus memantau perkembangan kasus ini. Informasi seperti ini penting, bukan hanya untuk mencatat kesalahan, tetapi juga untuk memastikan ada perbaikan di masa depan.
Untuk pihak pemerintah, kasus ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap tender proyek. Pendekatan teknologi seperti sistem e-procurement yang lebih canggih bisa membantu meminimalkan praktik suap.